Patung Dewi Kwan Im.
Pulau Penyengat.
Deretan pulau di Kepulauan Riau (Kepri) tidak hanya menyimpan keindahan alam, tapi juga peninggalan-peninggalan bersejarah. Jejak-jejak penyebaran agama masih berbekas di jalur persinggahan internasional itu. Masjid, vihara, klenteng, dan patung Bunda Maria, masih dapat disaksikan.
Kepulauan Riau memang belum lama memisahkan diri dari Riau daratan, tapi peradaban di deretan pulau itu sudah ada sejak lama. Lokasi yang strategis menjadikannya tempat persinggahan.
Salah satu pulau yang menyimpan banyak peninggalan adalah Pulau Penyengat. Dahulunya pulau ini adalah pusat Kerajaan Riau, sampai akhirnya ditutup oleh Belanda pada awal abad 20. Di pulau ini, ada makam Haji Ali Raja, si pencipta Gurindam 12 yang tersohor. Ia juga bapak pahlawan Bahasa Indonesia.
Pulau Penyengat sebenarnya sebuah pulau kecil yang hanya memiliki luas tiga kilometer persegi. Pulau berjarak sekitar enam kilometer atau sekitar 20 menit perjalanan laut dari Tanjung Pinang menggunakan perahu pompong (perahu kecil). Atau jika ditempuh dari Batam memakan waktu sekitar satu jam menggunakan boat.
Umumnya wisatawan dari luar Kepulauan, Riau mengambil rute Batam, Tanjung Pinang, Pulau Penyengat. Ini karena jumlah penerbangan lebih banyak di Batam.
Meski kecil, pulau ini memiliki sumber air tawar yang baik. Ihwal nama pulau itu sendiri berkaitan dengan air tawar di pulau itu. Syahdan, sekelompok pelaut singgah di pulau itu untuk mengambil air tawar. Namun saat mengambil air, sekelompok lebah menyerang mereka. Jadi pulau itu pun disebut penyengat.
Menurut Raja Haji Abdurahman, sesepuh di pulau itu, konon masalah air juga yang menjadikan Raja Kesultanan Riau memindahkan pusat pemerintahannya. Kesultanan Riau yang bersaudara dengan Kerajaan Johor dan Kerajaan Pahang memindahkan pusat pemerintahan karena letak Pulau Penyengat yang strategis. Pada 1801 M saat pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1761-1812 M), pulau itu dijadikan mahar untuk isterinya Raja Hamidah binti Raja Haji Syahid Fisabilillah. Sampai sekarang masyarakat di sana percaya bahwa pulau itu milik se- orang putri.
Pemerintahan berikutnya, di zaman Raja Haji, dibangun benteng pertahanan dari serangan Belanda. Sampai saat ini sisa-sisa benteng itu masih ada, berupa meriam dan gudang mesiu.
Peninggalan sejarah lain yang masih tetap terawat, adalah Masjid Raya Kerajaan Riau, Benteng Bukit Kursi, Balai Adat, Makam Raja Abdul Rahman, Gedung Tengku Bilik, Gedung Mesiu, Istana Kantor, Makam Raja Jaafar, Sumur Puteri, Bekas Gedung Tabib, Makam Tengku Halimah, Makam Raja Haji Fisabilillah, Benteng Bukit Punggawa dan sebagainya.
Telur
Salah satu yang menarik adalah Masjid Raya Kerajaan Riau. Menurut Raja Haji Abdurahman, bangunan masjid itu menggunakan campuran putih telur sebagai perekat. Arsitektur bangunan memiliki simbol-simbol dalam Islam. Ruangan yang berjumlah lima buah mewakili jumlah kewajiban salat yang harus dilaksanakan oleh pemeluk Islam.
"Jumlah kubahnya ada 13 menandakan rukun salat. Ditambah dengan empat kubah, mencerminkan jumlah rakaat yang harus dilakukan dalam sehari," jelas Raja Haji Abdurahman yang masih keturunan raja-raja Kesultanan Riau.
Rumor yang beredar, jika berdoa di masjid ini maka doanya akan cepat terkabul. Bahkan mitos larangan untuk berbuat jelek selama berada di pulau itu pun masih dipercaya. "Sebenarnya itu penilaian orang lain saja. Kami memang diajarkan untuk tidak berbuat yang melanggar agama. Kalau ada orang yang menjalani pengalaman seperti yang diceritakan, itu mungkin saja," jelas Abdurahman.
Tempat menarik lain di pulau itu adalah kompleks pemakaman raja-raja Kesultanan Riau. Di makam Raja Hamidah binti Raja Haji Syahid Fisabilillah terpahat petatah-petitih Gurindam 12 karya Haji Ali Raja. Sementara makam Haji Ali Raja berada di luar bangunan makam putri pemilik pulau itu.
Gurindam 12 bagi penduduk Pulau Penyengat adalah nasihat yang harus dipegang untuk menjalani hidup. Bahkan untuk keperluan wisata, penduduk memperbanyak gurindam 12 dan dijual kepada pendatang.
"Gurindam 12 itu bukan pantun atau syair. Gurindam itu adalah nasihat yang ditulis dua bait berhubungan. Kenapa 12, karena ada 12 pasal. Masing-masing pasal berisi petatah-petitih untuk satu masalah," jelas Abdurahman.
Selain pusat Kesultanan Riau, tidak jauh dari Pulau Penyengat, di Pulau Senggarang terdapat peninggalan Kuil Tsu Te Kong dan Kuol Tay Ti Kong. Kuil ini dikenal sebagai kuil dewa api dan dewa bumi. Pulau Senggarang dapat ditempuh dengan perahu pompong dalam waktu tidak lebih dari 20 menit.
Selain dua kuil peninggalan abad 18 itu, juga dibangun Vihara Dharma Sasana. Vihara ini memiliki patung Sidharta Gautama dan Dewi Kwan Im yang tingginya belasan meter.
Penjaga vihara itu, Acui, menceritakan umumnya banyak umat Budha dari sekitar Pulau Senggarang yang datang berdoa di vihara itu. Namun banyak juga penganut Konghucu dari Singapura dan Malaysia yang berdoa di kuil.
"Biasanya saat perayaan taepekong mereka datang. Kalau sehari-hari biasanya hanya didatangi oleh masyarakat sekitar pulau," ujar Acui.
Acui menceritakan bahwa Pulau Senggarang memang sudah lama dihuni oleh para penganut Budha dan Konghucu. Di pulau ini 95 persen adalah penganut Budha dan Konghucu.
Menurut Acui, banyak wisatawan terkesan dengan patung Budha dan Dewi Kwan Im yang ada di sana. "Mereka cerita patung di sini lebih besar dan bagus. Peninggalan di kuil tua itu juga lebih eksotis. Banyak yang berdoa di sana mengharapkan kekhusukan," ceritanya.
Masjid Raya Riau.
Bekas kamp pengungsi Vietnam.
Goa Maria
Tidak hanya peninggalan Islam dan Konghucu saja yang berada di Kepulauan Riau itu. Di Pulau Galang terdapat Goa Maria dan Patung Bunda Maria di Atas Perahu. Keberadaan situs religi ini tidak lepas dari keberadaan kamp penampungan manusia perahu asal Vietnam.
Goa Maria ini pertama kali ditemukan oleh para pengungsi Vietnam yang berada di pulau ini sekitar tahun 1970-an. Sebagian dari mereka sempat menyaksikan penampakan Bunda Maria.
Penampakan Bunda Maria ini sangat menggembirakan para pengungsi di pulau itu. Mereka percaya Bunda Maria telah menyertai pengungsi dalam pelarian dari Vietnam. Pengungsi itu meninggalkan tanah kelahirannya karena kala itu Vietnam bergolak Perang Vietnam.
Saat ini di sekitar lokasi Goa Maria pun ada Jalan Salib. Biasanya umat Katolik yang datang ke lokasi itu melakukan 14 titik Jalan Salib. Selanjutnya melakukan Ekaristi di Immaculate Conception Mary Church yang sampai sekarang masih terawat.
Kini lokasi penampungan pengungsi asal Vietnam itu sudah kosong. Sejak tahun 1996 seluruh pengungsi sudah dikembalikan ke negara asalnya di bawah perlindungan UNHCR.
Namun peninggalan kamp dan sejumlah tempat peribadatan masih ada di lokasi itu. Wisatawan pun kerap mengunjungi lokasi itu. Berbeda dengan cara untuk mengunjungi Pulau Penyengat dan Pulau Senggarang, untuk mengunjungi Pulau Galang, wisatawan dari Batam tidak perlu naik perahu.
Kini Jalan Raya Barelang sudah menghubungkan Pulau Batam dan Pulau Galang. Enam jembatan melintasi laut menghubungkan beberapa pulau di sekitar Batam. Dari Batam perjalanan menuju Goa Maria ini dapat ditempuh selama satu setengah jam.
Memang berjalan-jalan di Kepulauan Riau, atau Batam khususnya tidak hanya bisa menikmati keindahan alam atau wisata belanja saja. Di sekitar Batam banyak lokasi religi yang bisa menambah ketebalan iman. [SP/Kurniadi]
Jejak-jejak Religius di Persinggahan Kepulauan Riau
Rabu, 29 Oktober 2008
Diposting oleh rinsha di 11.08 0 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)